Hi Sobat uenaak nusantara,
Meriah, megah, dan sangat beragam. Mungkin kata itu yang tergambar kalau ngeliat warna-warna makanan di bagian tengah Pulau Jawa. Dari banyak makanan yang terhidang ada satu bahan istimewa yang selalu ada di tiap sajiannya ialah gula.
Coba aja liat, dari lauk minuman sampai sambel yang dibuat butir-butir manis ini gak pernah terlewatkan untuk dicampur. Tapi, darimana sebenarnya kegemaran akan gula ini berasal?
Alasan Mengapa Masyarakat Jawa Suka Makanan Manis
Kenapa masyarakat di daerah Jawa khususnya Jawa Tengah dan Yogyakarta, suka makanan manis?
Dalam kisah Ramayana, ternyata Rama gak cuma makan masakan manis. Jika kita beralih ke teks-teks Jawa kuno, popularitas rasa manis ini juga masih belum muncul. Memang dalam ajaran Hindu rasa manis harus ada dalam setiap masakan.
Namun, rasa ini juga harus dilengkapi dengan lima rasa lain untuk nyiptain keseimbangan yang harmonis. Kalau gitu darimana datangnya rasa manis yang menonjol dari masakan Jawa Tengah sekarang?
Sejarah Makanan Manis Di Jawa
Ya, mungkin kita mikir kalau kegemaran ini bisa dilacak sampai ke Jawa kuno, tapi ternyata baru muncul di zaman penjajahan Belanda. Saat itu, melawan dua pasukan tentara di lokasi yang berbeda menguras habis kantong kas kolonial Hindia – Belanda.
Jadi untuk nyari duit, seorang Gubernur Jenderal berusuh untuk memberlakukan tanam paksa. Ladang rempah dan padi dipakai untuk menanam hasil tani ekspor yang laku di Eropa.
Hampir seluruh sawah di Jawa Tengah dipaksa untuk menanam tebu.
Sebabnya, bertahun-tahun rakyat kelaparan karena kehilangan makanan pokoknya, nasi.
Sehingga mereka harus bertahan hidup dengan menggunakan air perasan tebu untuk memasak.
Inilah kenapa warga Jawa Tengah lebih terbiasa dan gemar akan rasa manis. Setelah tanam paksa dicabut pun, produksi gula nggak berhenti. Swasta Belanda dan sultan-sultan dari Keraton Solo dan Yogyakarta mengambil alih pabrik dan ladang tebu.
Hal ini bikin Keraton untung berkali-kali lipat, sampai-sampai gaji priyayi yang biasa dibayar dengan tanah diganti jadi hasil ekspor gula. Seiring waktu, walaupun perselisihan masih ada, pertukaran budaya tetaplah terjadi.
Keraton yang sering menerima tamu dari Belanda lama-kelamaan muncul ketertarikan akan kulinernya. Makanan yang cuma bisa kita dapetin di restoran Eropa ternyata bisa kita temuin versi lokalnya.
Contohnya, Selat Solo atau ini juga dikenal dengan nama Bistik Jawa. Rasanya manis gurih dengan sedikit asam dari saus mustard dan cuka. Gimana cara masaknya? Masakan satu ini unik banget.
Walaupun kegiatannya kayak makanan barat, cuma ada bumbu-bumbu yang bikin makanan ini lokal banget. Pertama, daging has dalam yang sudah dibumbui sama bumbu lokal ini akan digoreng dulu. Kalau udah kecoklatan, ditiriskan dan kita akan lanjut bikin kuahnya.
Di wajan kita akan tumis bawang merah dan tomat, lalu kita akan tambah air. blasteran ini.
Sekarang sambil kita tunggu sampai semuanya meresap, kita bisa bikin sausnya. Saat dimakan, saus ini biasa dicampur sama kuahnya biar makin nikmat. Saat semuanya menyatu dan meresap, sudah siap kita sajikan. Jangan lupa ditambah acar dan pelengkap lainnya.
Pada akhirnya, citarasa khas sebuah budaya tidak hanya muncul lewat tradisi, namun juga lewat masa sulit yang harus mereka lewati. Dan lewat masa sulit ini, kita juga dihadirkan pertukaran budaya yang bikin para wisatawan gak bosen-bosen keliling Indonesia.
Ngomong-ngomong soal wisata kuliner kita telah berjelajah ke berbagai pelosok nusantara.
Ngelihat ragamnya masakan khas Indonesia yang macem-macem dan sekarang kita jadi tahu. Kenikmatan sebuah masakan tidak hanya dari rasanya yang kaya akan rempah, tapi juga tiap sendoknya yang ternyata punya banyak cerita.
Terima kasih sudah berkunjung. Bye bye